JOKER 2019 - A Review
Baru
kali ini setelah nonton film dan keluar dari bioskop, aku perlu duduk dulu
sebentar untuk menenangkan mental dan pikiran yang “terganggu” selama dua
jam tadi. Dada yang masih berdegup dan tangan yang gemetar. Gosh, aku butuh udara
segar.
Ya
dua jam di dalam sana aku ditenggelamkan dalam melihat sebuah kegilaan yang
datang bertubi – tubi merasuk ke alam bawah sadar. Melihat sebuah perubahan “sakit”
dari seorang manusia yang sakit dari masyarakat yang juga sakit. Sungguh film ini begitu gelap, penuh tekanan
dan ya, sakit.
Setelah
kita banyak melihat film – film mengenai superhero, mengenai kebaikan melawan
kejahatan lalu menanglah kebaikan, sebuah formula cerita yang
buat aku mulai membosankan. Datanglah Todd Phillips mengusung Joker (2019)
dengan melawan semua formula ini. Bukan sebuah konsep anti hero juga, karena
kalau anti hero menurutku tokohnya memang penjahat tapi yang dibunuhinya
hanya orang jahat saja, kalau Joker ini tidak, dia membunuh karena marah,
siapapun bisa jadi korbannya. Dalam film ini, Todd membawa cerita asli dari DC
Comic mengenai Joker, si Arthur Fleck yang penuh kegelapan, dan berhasil,
sangat sangat berhasil.
Todd Phillips
juga melibatkan aktor kawakan Joaquin Phoenix, komposer Hildur Gudnadottir dan
sinematografer Lawrence Sher untuk membuat film Joker (2019) menjadi begitu super
real, dengan kejutan – kejutan yang mendebarkan di sepanjang filmnya.
Dari
sisi sinematografi, luar biasa. Sejak awal film dimulai hingga akhir, kita
disuguhi gambar - gambar lebar dengan gedung – gedung tinggi yang suram lalu
gambar membawa kita ke ruang - ruang apartemen yang kecil, gelap dan sesak di
mana Arthur dan ibunya tinggal. Ini pakai kamera apa, tekniknya gimana aku ga
tau istilah perfilmaannya, tapi yang jelas, penggambaran itu berhasil
membenturkan kita pada kenyataan dalam hidup yang bisa jadi gelap. Bayangkan dari suasana
luar yang lebar, kita dipaksa masuk ke sebuah ruangan sempit dan gelap, namun
tetap dengan tema yang sama, suram. Membuat kita merasakan perasaan tidak
nyaman yang menekan di situ. Pun, sudut – sudut kota Gotham yang digambarkan suram
dengan kekacauannya, stasiun – stasiun bawah tanah yang ramai tapi terasa senyap,
lift yang kusam, semuanya mendukung betapa muramnya film ini.
Musik
di film ini, gilak, mengiris hati. Musik yang melatarbelakangi setiap adegannya dibikin bernuansa gelap menebar ketegangan. Parah sih Hildur Gudnadottir
ini, jenius banget dalam membuat komposisi musiknya. Musiknya memperkuat suasana
suram di dalam kota yang sedang kacau balau karena jurang antara kaum kaya dan
miskin begitu menganga lebar, menguatkan narasi tentang masyarakat dan tokoh
utamanya yang sedang “sakit”. Gesekan – gesekan cello bernada rendah, ketukan –
ketukan ritmis yang kemudian dihajar dengan bunyi biola bernada tinggi,
permainan tempo crescendo dan nada – nada minor, pelan – pelan memasuki alam
bawah sadar penonton sehingga berhasil membangun suasana film yang muram, sedih
dan tragis.
Sampai
keluar dari bioskop, suara gesekan cello ini terus menempel di kepalaku,
masih terdengar di gendang telinga, sehingga aku harus duduk rileks beberapa
saat untuk melepaskan ketegangan, melepaskan nada – nada yang terbawa menyayat
hati itu untuk mengembalikan kewarasanku. Uniknya, Hildur ini membuat musik
pada saat film masih dalam bentuk script, kebayang kan jeniusnya, dan musiknya
ini diputar di lokasi syuting setiap saat syuting berlangsung, ini bertujuan untuk
memberikan rasa dan menyambungkan setiap adegan per adegan suram kepada kru dan
pemain yang terlibat. Gila ya, salut.
Kemudian
kita bicara Joaquin Phoenix, akting satu orang ini betul – betul, fiuuuuhhh…. bentar
lepas nafas dulu.
Joaquin
dalam memerankan Arthur Fleck ini tidak tanggung – tanggung, dari menguruskan
badannya hingga turun 20 kg, tidak bertegur sapa selama di lokasi set agar
karakter Arthur tidak terdistorsi, menyendiri hingga berlatih menari. Semua
dilakukan dengan detil oleh Joaquin, dari tatapan mata, memainkan emosi, cara
berjalan, cara berlari, cara tertawa dari terbahak hingga mengikik perih, cara
menghisap rokok, cara merespon kalimat atau pertanyaan orang lain, hingga cara
menari yang canggung penuh misteri. Hasilnya? Man of Chaos.
Tidak
hanya itu, dari awal adegan, kita diajak melihat perubahan karakter Arthur
Fleck yang membius ini dengan perlahan, dari pria yang pendiam, hingga akhirnya
meledak. Sebuah perubahan karakter yang slowburn, perlahan membakar kita. Perubahan
karakter yang dicekoki secara bertubi – tubi ini, pada akhirnya membuat kita
berempati dengan Arthur yang malang padahal kejam.
Cerdas
sekali Todd Phillips, membawa kita untuk tenggelam dalam melihat perubahan
karakter Arthur ini. Dari awal kita menemani Arthur, adalah pria yang memiliki
kelainan mental sehingga harus mengkonsumsi tujuh macam obat untuk mencegah
kegilaannya muncul, ia juga memiliki penyakit yang bisa mengakibatkan tertawa
tanpa sebab, di sini kita sudah diajak berkenalan dengan kondisinya, hingga
saat orang – orang memukulinya muncullah rasa simpati. Arthur juga pria yang
tidak memiliki teman, hidup kesepian, menderita delusi, ia berkhayal menjadi
kekasih dari Penny, tetangga apartemennya, saat ia diusir Penny dan ditolak
cintanya, kita bahkan merasakan sakitnya. Arthur juga adalah pria miskin yang
tinggal di tempat kumuh bersama ibu angkatnya, bergaji rendah, sering disakiti,
dan dihina, hingga pada saat ia membunuh tiga pria kaya raya di kereta api
bawah tanah yang memukulinya, kita tidak menyalahkannya. See? Ini yang aku
bilang Todd begitu cerdas membiarkan kita tenggelam dalam permainan kegilaan
Arthur.
Tekanan
demi tekanan yang dialami Arthur akhirnya membuat dirinya menerima dan
merangkul semua kegilaannya itu, ia menjadi Joker. Setelah ia diselamatkan oleh
“pengikutnya” dan diletakkan di atas kap mobil di tengah – tengah kerumunan
orang, ia berdiri menjadi sebuah simbol kekacauan dan kegelapan, meski bagi “pengikutnya”
ia adalah simbol perlawanan bagi yang tertindas. Tapi apakah ini membuat Joker
menjadi hero atau anti – hero? Tidak. Ia tetap membunuh tanpa pilih – pilih,
seperti saat ia menembak Murray Franklin, pembawa acara televisi di sebuah
acara yang disiarkan langsung. Ia tetap menjadi Arthur Fleck yang sakit, yang
memiliki pandangan subjektif mengenai diri dan dunia sekitarnya.
Setiap
adegan dalam film ini sungguh mendebarkan. Perubahan wajah Arthur yang sedih,
senang, tertawa, putus asa, atau marah, membuat aku bergidik. Tindakan Arthur
yang begitu saja menembak orang atau menikam orang tanpa pikir – pikir membuat aku syok. Bahkan saat Arthur menari – nari di tangga merayakan dirinya yang
akan tampil di televisi, terlihat begitu keren, bagiku itu sebuah perayaan yang seram, karena real villain bernama Joker telah terlahir, tapi karena sejak awal kita sudah “diajak
berkenalan dan menemani” Arthur dalam kondisinya yang sakit, melihat hidupnya
yang tertekan, selalu terpojok, tidak bisa melawan, tidak pernah menang, hingga
menuliskan “I just hope my death make more cents than my life” di bukunya, bahkan
melihat Arthur mengurung dirinya dalam sebuah kulkas membuat kita trenyuh, ini menciptakan
sebuah keintiman gelap berdasarkan empati yang kita tidak duga datangnya.
Todd
Phillips berhasil membuat kita, penonton, menjadi bagian dari film ini dengan
cara yang unik, abstrak dan intim. Hingga kita pun bisa menafsirkan Joker ini
dengan persepsi masing – masing. Banyak yang menafsirkan kalau Joker ini adalah
“gue banget” yaitu manusia jahat yang berasal dari manusia baik yang tertindas.
Silahkan menafsirkan begitu tapi bagiku setelah melihat keseluruhan film ini
malah menjadi tercenung. Kita bukan Joker atau Arthur Fleck. Joker atau Arthur
adalah orang yang memiliki kelainan mental, ia pria yang sakit, itu karenanya
dia harus meminum tujuh macam obat bukan? Apakah kita seperti itu?.
Ada
sebuah adegan yang menunjukkan kegilaan sekaligus ironi yang menjebak kita
semua, yaitu setelah Arthur menikam temannya, Randall, dengan gunting dan
membentur – benturkan kepalanya hingga hancur ke tembok, temannya, Gary The
Midget ketakutan tapi diijinkan pergi oleh Arthur, tapi ia tidak bisa membuka
kunci pintunya yang tinggi, kita mentertawakannya saat dia meloncat – loncat berusaha
membuka selot pintunya, dan akhirnya meminta tolong pada Arthur untuk
membukakan pintunya. We did laugh, didn’t we?.
Aku malah merasakan kengerian kalau kita sebenarnya adalah yang jadi masyarakat di
film Joker ini. Masyarakat yang senang mentertawakan kelemahan orang lain.
Masyarakat yang senang menghina orang lain. Kita adalah masyarakat yang suka
menghakimi, merudung, menyakiti orang – orang seperti Arthur yang sakit atau
seperti Gary The Midget yang memiliki kekurangan fisik atau orang – orang yang
memiliki perbedaan dari kita. Berkacalah pada apa yang selama ini telah kita
lakukan pada orang lain. Apakah kita pernah menyakiti seseorang secara langsung
maupun melalui sosial media? Atau kita pernah mentertawakan dan menggunjingkan
orang di belakang, karena kita terlalu pengecut untuk dibilang manusia jahat?. Sadarkah
kita dengan akibat dan dampak dari perbuatan kita itu bisa membuat orang
menjadi depresi, “gila” bahkan bisa mengakhiri hidupnya sendiri? Dudes, depression
is real.
Buatku itulah pesan moral sesungguhnya dari film Joker. Jadi cara film ini
menyadarkan kita sungguh unik. Film ini akan menjadi film terbaik yang pernah aku tonton di tahun 2019 ini. Tontonlah film ini, rugi bila kalian
melewatkannya. Keseluruhan film ini buat aku sungguh sempurna. Jarang banget setelah
menonton film bisa terus kepikiran hingga berhari – hari.
Lalu
bagus mana Joker yang Joaquin Phoenix ini atau Joker yang Health Ledger? Buatku keduanya tidak bisa dibandingkan. Dua – duanya masterpiece, sama – sama meninggalkan
kesan yang dalam yang akan terus menempel di benak penontonnya.
Penutup, let's don’t be a joker, jadi dirimu sendiri saja yang selalu bahagia dan menghargai sesama manusia.
Salam,
Ken Fauzy.
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih telah membaca. Semoga harimu baik dan senang.