TERINFEKSI COVID19 : SAKITNYA ITU, YA ALLAH, GA BECANDA.

 

Cerita ini pernah dibagikan di Instagram dan Facebook milikku dalam versi singkat, di sini aku menuliskannya lebih panjang karena tidak terbatas format, untuk berbagi pengalaman dan berharap bisa diambil manfaatnya.

Kenapa bisa terinfeksi? Apakah aku orang yang abai prokes? Atau golongan pecinta teori konspirasi sehingga tidak perduli prokes? Atau orang yang ga percaya Covid19? Begini, aku suka kok baca-baca soal teori konspirasi tapi aku ga menelannya mentah-mentah, aku sangat percaya Covid19 ada, karena teman-temanku dan tetanggaku sudah banyak yang meninggal karenanya, kalau ada yang bilang itu dicovidkan ya terserah kamu. Jadi, kesimpulannya, aku adalah orang yang patuh bahkan disiplin soal prokes.

Aku dan keluarga kecilku; istri dan kedua putriku, kita jalanin prokes banget. Aku malah ga pernah keluar rumah kalau hanya untuk nongkrong-nongkrong atau jalan-jalan. Kebetulan pekerjaanku sebagai penulis jadi bisa dilakukan dari rumah, aku ga pernah keluar, kecuali untuk beli kebutuhan pokok di supermarket, dan harus mengantri. Kadang kita sudah jaga jarak antrian tapi tetep aja ada orang berdiri mepet banget, pengen ngasih tau males, dari pada ribut, jadi diem aja deh.  

Nah, sepertinya di titik lengah itu aku terkena.

Dua minggu sebelum terinfeksi, aku baru saja sembuh dari sakit asam lambung parah, baru aja badan ngerasa enakan eh langsung diajak kenalan sama Covid19 hadeh! Tepatnya tanggal 2 Juni 2021 malam, tiba-tiba tubuhku menggigil, aku pikir ini meriang dan flu biasa, karena disusul dengan batuk. Aku mengonsumsi obat-obatan warung aja waktu itu. Eh istriku menyusul sakit juga selang satu harinya. Gejalanya pun sama, ya udah kami anggap ini flu biasa, kami pun minum obat warung sama-sama hehehe.

Tapi satu hari dari situ, kondisi badan kami makin ga enak, demam tinggi sampai 40 derajat, terasa sakit seluruh badan, nafas jadi sesak, nafsu makan hilang dan penciuman serta rasa kami mendadak hilang. Apal dong ya bedanya kalau penciuman dan rasa hilang saat flu sama engga. Kondisi hidung ga mampet, nafas lancar tiba-tiba ga bisa mencium bau-bau gitu. Begitu pun saat makan, ga tau rasanya apa, cuma tau tekstur. Manis, pahit, asam, asin, gurih, pedes semua ilang. Anjirrrr, panik? Paniklah karena seumur-umur aku sakit flu ga pernah begitu. Ini terjadi dalam waktu satu hari semua datang susul menyusul.

Dalam pikiranku saat itu bilang, ini kayaknya covid, karena segala informasi soal penyakit ini sudah pabalatak di internet bukan? Aku sering baca, jadi aku hapal gejalanya tapi saat itu aku belum mau ngomong ke istri takut panik. Sementara itu, sakit istri menjadi lebih parah, dadanya terasa terbakar, maka dia memutuskan untuk mengecek duluan ke dokter umum. Sedang aku masih bertahan dengan obat warung, ga ke dokter, meski kondisi badan sebetulnya sudah drop, aku mencoba tetap positif thinking; ini flu, ini flu. Bodohnya aku hehehe. 

Sepulang istri dari dokter dia nangis, aku tanya kenapa, dia bilang, kata dokter dia bergejala covid jadi dirujuk ke IGD RS. Kabar kena covid itu bikin mentalnya kena. Aku sampaikan juga pada istri kalau itu sudah aku duga, tapi tetap aja aku bandel belum mau ke RS hehehe. Aku merasa aku bisa sehat tanpa berobat toh virus ini seperti flu biasa.

Tapi ternyata, aku salah.

Dua hari kemudian aku sudah ga tahan dengan kondisi tubuhku yang semakin drop banget, akhirnya aku menyerah dan kami pun memutuskan untuk ke IGD bareng. Anak-anak kami tinggal di rumah, untung si sulung sudah bisa menerima tanggung jawab menjaga rumah dan adiknya. Maka berangkatlah kami ke IGD RS dengan taksi online. Hanya kita berdua saat itu, berusaha saling menguatkan, saling menjadi penopang satu sama lain, padahal kita sama-sama sedang sakit parah-parahnya. Orang sakit memapah orang sakit berasa seperti orang buta menuntun orang buta, hehehe.

Berjalan menuju IGD setelah turun dari taksi online aja membutuhkan perjuangan. Melangkah seperti yang ga napak. Kita ga bisa jalan cepat karena badan demam, sakit, dada sesak tapi terlalu gengsi untuk minta perawat kursi roda, kita ga mau keliatan lemah, jadi dikuat-kuatin aja. Meski sakit, penampilan tetap number one yak, hihihi.

Nahas, IGD-nya penuh! Kami harus mengantri. Mengantri dalam kondisi hampir pingsan! Mau gimana lagi, mau cari RS lain rasanya badan udah ga mampu, itu pun tidak menjamin IGD-nya bakalan kosong. Kami pun memutuskan menunggu. Terlintas dalam benakku, kalau kondisi gini enak ya jadi anak pejabat, anak presiden, selebriti, orang kaya raya atau punya akses khusus yang bisa langsung masuk tanpa harus ngantri.

Apa mau dikata, hamba hanya orang biasa.

Ternyata keputusan untuk menunggu itu salah sodara-sodara. Setelah menunggu berjam, tetap saja kami ga kebagian karena IGD penuh dan kami diminta menunggu lagi. Tidaaaaaak, dak, dak, dak, dalam hatiku bergema dan kesal. Dada sudah ngos-ngosan, pengen rasanya saat itu ngagoler di lantai RS karena udah ga kuat berdiri tapi malu jadi ga jadi. Kemudian aku lihat wajah istri yang sudah pucat pasi meski dia mencoba tetap tersenyum, bilang, “Ga apa-apa, kita tunggu lagi aja.” Aku menggeleng, aku ga mau bertaruh nyawa dan aku juga ga mau kami ambruk di situ, akhirnya aku memutuskan untuk ke klinik dekat rumah saja.

Klinik? Ya dalam pikiran simpelku saat itu, RS lain pasti penuh juga, klinik lebih sepi agar kami cepat mendapatkan penanganan. Itu aja. Tapi untuk ke klinik aku harus memesan taksi online dan itu menyebalkan. Kalau kepala lagi pusing, badan demam, nyesek dada, pencet-pencet hape buat order ojol itu menyiksa banget ya.

Dan ketika sampai di kliniknya pun, eh ternyata penuh juga.

Ya Allah! Sambatku.

Sedih banget rasanya. Tubuh yang udah sakit, lelah dan lemah harus dikuatin lagi untuk menunggu, mengantri. Mau gimana lagi, ya sudah pasrah dengan kondisi. Akhirnya setelah menunggu berjam, nama kami berdua dipanggil.

Pada dokter di klinik kami sampaikan semua yang kami rasakan tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dokter itu mengatakan kami berdua memang bergejala Covid19, ternyata sang dokter telah terbiasa menangani pasien covid sehingga beliau hapal dari gejala yang kami alami. Beliau pun menyarankan kami isoman di rumah, beruntung oksigen kami masih bagus 99%, karena kalau saturasi turun atau gagal nafas pun akan sulit merujuk ke RS yang kosong, RS sedang penuh di mana-mana saat itu.

Beliau memberikan kami obat-obatan dan vitamin banyak banget, menyarankan kami terus makan meski anosmia, banyakkin buah bervitamin C, rutin berjemur, tidur cepat dan jangan kontak dengan orang sekitar. Setelah dua minggu kami diminta kembali untuk pengecekan, beliau pun melampirkan nomer WA orang puskemas dekat rumah kami untuk bisa terus memantau kami.

Di jalan pulang kami ngahuleng berdua.

Ngahuleng, apa ya Bahasa Indonesianya? Pokonya mah, diam ga bicara dengan pikiran dipenuhi kekalutan. Apa yang sering kami lihat di internet, sosmed atau di televisi, ternyata terjadi pada kami juga. Jujur, saat itu mental kami anjlok meski dokter sudah bilang jangan panik. Yah namanya manusia ya ‘kan? Kalau belum kena bisa we ngomong, tapi pas udah kena mah yang ada bingung, panik.

Di rumah kami langsung mengatur alur gerak kami sekeluarga supaya ga bersenggolan atau berdekatan. Rumah kami ga besar, ga ada loteng juga tapi anggota keluarga kami sedikit. Kita hanya ada berempat. Sehingga mudah untuk mengatur jarak antara kami meski muter-muter di situ-situ aja. Ada dua kamar di rumah, satu kamar dipakai anak kami berdua, satu kamar awalnya dipakai istri tapi karena dia mengeluh pengap, jadi dia memilih untuk tidur di ruang tamu yang lebih terbuka dan aku yang di kamar. Kami pun selalu memakai masker.

Bagaimana dengan makan kami? Apakah tetangga membantu? Tidak. Aku dan istri memang memutuskan untuk tidak memberi tahu RT dan tetangga kalau kami sedang isoman. Kami butuh ketenangan dan tidak ingin ada kegaduhan yang tak perlu.. Tetangga kami baik-baik kok tapi penerimaan mereka soal Covid19 yang terlalu banyak hoak ini membuat sebagian mereka ga sepaham dan ga tau bagaimana harus bereaksi sepatutnya bagi para isoman. Apalagi saat itu santer berita orang yang diusir saat sedang isoman di Bandung, itu bikin aku dan istri jadi was-was.

Kami sama sekali ga keluar rumah, tapi orang puskemas suka menghubungi kami untuk memantau kondisi. Makanan pun kami bergantung pada apa yang ada di kulkas dan stok makanan instan di dapur. Putri sulung kami yang menyiapkannya, meski dia pun sempat sakit juga beberapa hari tapi alhamdulillah setelah itu sehat kembali. Terimakasih untuk putriku ini.

Apakah keluarga atau teman tau aku dan istri kena Covid?

Awalnya aku memang tidak ingin mengabari siapa pun termasuk keluarga, tidak mau merepotkan intinya, kami juga tidak memposting di sosial media atau pun mengabari di WA grup soal kondisi kami. Selain aku dan istri memang bukan tipikal orang yang apa-apa harus diposting, kami juga terlalu sakit untuk bisa bermain telepon genggam, tapi pikir-pikir rasanya aku akan salah kalau terjadi sesuatu dan keluarga sampai ga ada yang tau, terutama keluarga intiku. Akhirnya aku memutuskan untuk mengabari kakak kandungku saja, berjaga-jaga kalau aku dan istri tidak bisa bertahan. Dan meski dari jauh, kakak kandungku ini banyak membantu kami dalam melalui isoman ini, thanks to him.

Selama isoman, penderitaan sebetulnya baru dimulai.

Setiap menit aku merasakan sakit di seluruh tubuh, ga enak banget rasanya. Kalau batuk dada terasa sakit seperti ada jarum yang nusuk dada dan aku batuknya sering pula, ‘kan tersiksa ya. Nafas menjadi sesak, juga berat kadang aku megap-megap seperti orang tenggelam. Badan cepat capek, jalan ke kamar mandi aja capeknya kayak abis lari kelilingi lapangan bola. Masya Allah.

Dan yang bikin stressnya makin berat, ya anosmia dan ageusia itu.

Ga punya penciuman dan lidah ga bisa merasakan apa pun itu rasanya hampa banget. 

Aku sampai nempelin minyak kayu putih -yang biasanya aku ga suka sama baunya- ke lubang idung, tapi ga ada bau sama sekali. Aku semprot minyak wangi depan idung, sama aja, ga kecium apa-apa. Begitu pun dengan lidah, semua makanan dan minuman tidak ada rasanya. Bahkan garam aku taro di lidahku ga ada rasa sama sekali. Ya Allah. Istriku malah lebih parah, selain semuanya sama seperti yang aku rasakan, dia mengalami dada yang panas terbakar juga mual dan muntah-muntah. Hampir tiap malam dia menangis memegangi dadanya dan yang paling menyedihkan, aku hanya bisa melihatnya kesakitan.

Setiap hari kami saling menguatkan.

Setiap pagi meski badan sakit, aku menyempatkan bangun untuk menengok istri dari pintu kamar sekadar mengucapkan “Selamat Pagi” atau kalau aku belum melakukan itu maka istri yang memanggil-manggil namaku, itu sebetulnya kami lakukan untuk saling mengecek apakah kami masih hidup atau tidak. Kemudian kami akan bercerita sebentar soal hidup yang bahagia atau masa-masa indah saat pacaran untuk kemudian kembali beristirahat dalam rasa sakit yang juara. Lalu setiap malam, sebelum tidur kami selalu mengingat anak-anak sebagai penguat hati kami. Hanya mereka penguat paling ampuh bagi kami.

Apa yang paling aku takutkan saat itu adalah, ketika aku tidur, aku tidak bangun lagi, karena terkadang dalam tidur aku seperti megap-megap, sesak tak bisa bernafas. Aku takut gagal nafas, jelasnya, ya aku takut mati, kenapa? Karena aku masih punya banyak kewajiban yang belum aku selesaikan, aku masih punya banyak mimpi yang belum aku wujudkan bersama keluarga kecilku.

“Aku kuat ga ya?” tanya istriku ragu dan lemah.

“Harus kuat Nda buat anak-anak,” jawabku.

Tanya jawab seperti itu sering terjadi di malam hari. Aku harus terus memompa semangat istri, menjaganya agar tetap fokus untuk sembuh, aku ingin sekali memeluknya saat itu memberinya kekuatan dan ketenangan tapi kami sedang menjaga jarak. Setelah itu aku akan kembali ke kamar, berdoa sambil menangis, meminta Allah untuk membalas semua kebaikan yang pernah kami lakukan dengan memberi kami sehat. Kami tidak meminta balasan lain-lain. Ya, kami hanya ingin sehat. 

Maaf ya Allah aku pamrih dan cengeng.

Kondisi keuangan saat itu juga makin menipis karena habis untuk berobat, beli berbagai vitamin dan bayar tagihan, juga keperluan sehari-hari. Biasanya menghadapi situasi duit habis seperti ini kami akan panik tapi saat itu kami ikhlas saja dengan hidup ini, kami yakin Allah akan kasih pertolongan. 

Setelah 14 hari lebih isoman.

Alhamdulillah kami bisa melewati masa kritis, kondisi kami membaik, kami cek ke dokter lagi beberapa kali. Dokter mengatakan kami sembuh meski harus tetap berjemur, mengonsumsi vitamin, buah-buahan dan makan banyak yang bergizi. Beliau bilang untuk para penyintas covid biasanya akan mengalami long covid, yaitu sisa-sisa sakit yang masih menempel di dalam tubuh hingga beberapa bulan ke depan, jadi penting untuk tetap menjalankan prokes juga menjaga kesehatan.

Dokter betul, kami memang membaik, tapi sampai hari ini kami masih terus meng-improve tubuh kami yang terasa belum fit seperti sediakala.

HARI INI.

Mengingat hari-hari saat kami sakit kemarin, masih bikin kami merinding, masih berasa sakitnya di badan ini, hiiih ga lagi-lagi deh. Melihat sendiri kondisi RS juga klinik yang penuh dan mengantri, sungguh menakutkan, gimana kalau lagi ngantri waktu itu kami disapa sama Malaikat Izrail? Duh gimana anak-anak di rumah? Siapa yang ngasih tahu mereka? Siapa yang jaga mereka sampai mereka besar?

Banyak juga hikmah yang kami ambil dari pengalaman terinfeksi covid19 ini. Kami menjadi lebih dekat, kami semakin menyadari kami saling membutuhkan. Saat sakit kami juga belajar untuk lebih ikhlas kepada hidup, lebih tenang menyikapi situasi dan lebih yakin tentang kuasa Allah.

Yang paling utama adalah, sungguh sehat itu mahal dalam arti yang sebenarnya, biaya berobat, beli obat khusus, beli vitamin, beli makanan bergizi, jadi punten-punten nih, kalau duit kamu pas-pasan, ga punya jalur khusus untuk fasilitas kesehatan terbaik atau ga punya support system bagus, sebaiknya jangan abai prokes deh. Terdengar arogan, tapi ini demi kebaikanmu, percayalah. 

Dan yang harus diingat itu sakitnya, ya Allah ga becanda.

Hari ini, hari esok, kita belum aman.

Patuh prokes! Jangan dengerin orang lain mau bilang apa. Denger, mereka-mereka yang bilang ga percaya covid, yang anti vaksin, yang bilang ini teori konspirasi, yang bilang ini bikinan pemerintah, dst, mereka semua cuma bacot doang dan aku jamin mereka ga akan ada yang nolongin kamu kalau kamu dan keluargamu terinfeksi. Jadi jangan dengerin mereka, kamu harus jaga dirimu dan keluargamu. 

Segera vaksin! Tapi ingat vaksin itu bukan obat buat nyembuhin tapi sebagai antibodi agar virus ga bisa membuat tubuh kita ambruk parah kalau terinfeksi dan untuk membentuk herd immunity.

Terimakasih buat kamu yang sudah membaca pengalamanku ini. Semoga kamu dan keluargamu selalu diberi kesehatan. Dan aku berdoa, bila kamu sakit, semoga support system di keluargamu juga di lingkunganmu akan bekerja dengan baik untuk mendukungmu. Sehat, sehat, sehat.

God save us.

Salam, Penyintas Covid19.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PATAH

Mr. Zoo, New Trial, The Man Inside Me, Sunny, The Swindlers

Hitman Agent Jun, A Hard Day, My Girlfirend is An Agent, Show Must Go On,Montage